Jan 27, 2016

Thaipusam

Hari Minggu lalu, 24 January, aku dan suami menyempatkan lihat Thaipusam Festival di daerah Little India.

Perayaan ini diadakan setiap tahun di antara bulan Januari-Febuari atau bulan ke 10 pada Tamil calendar, oleh masyarakat India-Hindu di sini. Kabarnya ini dirayakan juga di Malaysia, Indonesia dan tempat-tempat lain dimana masyarakat India Tamil tinggal.

Thai sendiri adalah nama salah satu bulan dalam Tamil calendar, dan Pusam adalah nama salah satu bintang. Inti perayaan itu sendiri adalah permohonan ke Dewa untuk mendapatkan perlindungan dari hal-Hal buruk.


Dalam perayaan di Singapura, mereka mengadakan perjalanan dari satu temple di daerah Little India ke temple lain di daerah China Town, dengan membawa persembahan ke Dewa Perang Murugan, berupa susu dalam wadah seperti pot, dan satu buah jeruk limau (lyme).
Hebohnya, untuk menunjukkan ketaatan, banyak dari mereka yang memakai atribut-atribut yang langsung dikenakan ke badan mereka, yang disebut kavadi. Hal itu mereka lakukan untuk menunjukkan pengorbanan sekaligus persembahan ke Dewa.

Kita benar-benar terkesan dengan perayaan ini. Bagaimana mereka merelakan tubuh mereka, untuk sesuatu yang diyakini. Sambil bertanya ke diri sendiri...Do I reach that level yet? Mengorbankan 'Yang berharga' demi keyakinan saya?





Jan 24, 2016

Kita sedang Marathon, bukan Sprint

Baru beberapa bulan ini, Shifa dan Althaf kuberi tugas rumah. Shifa cuci piring, kecuali pagi hari, dan Althaf bertugas buang sampah. Shifa juga aku minta untuk cuci baju sekolahnya sendiri.
"Ibu mau aku jadi garbage man ya...?," tanya Al suatu hari.
"Hehehe..ibu juga minta mbak Shifa cuci piring. Apa itu artinya ibu mau mbak Shifa jadi tukang cuci piring?,"aku balik bertanya.
"Ini untuk mengenalkan tanggungjawab. Karena semakin besar, tanggungjawab kalian semakin bertambah. Apalagi Althaf, seperti ayah, Althaf bertanggungjawab terhadap ibu dan mbak Shifa nantinya."
Dia pun manggut-manggut. Mudah-mudahan tanda mengerti.
Sound perfect? Kenyataannya sih too perfect to be true hehehe
Tugas ini harus selalu diingatkan hampir setiap hari. Setelah diingatkan, ada dua kemungkinan. Dikerjakan dengan ekpresi datar, atau ngedumel.
Belum lagi kalau diliat dari umur mereka, 13 dan 11 tahun. Aku pernah baca artikel tentang tugas-tugas rumah yang bisa dikerjakan anak berdasarkan usia. Bila dibandingkan dengan tabel pada artikel itu, apa yang mereka kerjakan ini masih di bawah standard.
Apalagi kalau melihat pencapaian anak-anak temen ku yang seusia dengan mereka...yang aku tau berdasarkan status, cerita2 atau foto di medsos...buat si maknyak ini makin ciut (ini lah contoh Ibu korban medsos hehehe)

Keciutan ini cukup lama juga, dan ketika aku diskusikan dengan suami. Kesimpulan nya cukup menenangkan hati.

1. Setiap kita itu unik, termasuk anak-anak. Jadi gak bisa kita banding-bandingkan, dengan anak lain, apalagi dengan artikel-artikel yang berkesimpulan berdasarkan sampel saja.

2. Mengasuh anak itu seperti lari marathon, bukan sprint. Garis finish nya adalah akhir umur kita. Itupun mungkin belum sesuai dengan target yang kita anggap ideal/maksimal. Tapi, in sya Allah, nilai kita bukan sampai mana target kita, tapi pada kegigihan kita, ketidak berputus asa an kita, dan pada kebergantungan kita kepada Nya.

If you can't fly then run, if you can't run 
then walk, if you can't walk then crawl, but whatever you do you have to keep moving forward.



Jan 21, 2016

I liked..Sabtu Bersama Bapak

Buku ini sebenernya sudah lama ada di rak buku. Belanjaannya ayah pas kita mudik liburan sekolah tahun lalu.
"Buku ini bagus.." gitu doang komentarnya.
Ya jelaslah, dengan marketing plain begitu, aku gak tertarik untuk baca. Sampe di suatu weekend, aku cari-cari buku baru yang mau dibaca. Melihat sekilas buku ini, trus baca back cover nya, trus buka-buka halaman nya, trus...trus...dalam dua hari selesai hehehe.



Ada beberapa tokoh di sini.

Yang pertama si Bapak. Yang karena penyakitnya, diperkirakan punya sisa umur sedikit saja. Tau hal itu, dia menyiapkan rekaman-rekaman dirinya untuk kedua putranya. Rekaman yang seolah-olah mengajak kedua anaknya berdialog, memberi pendapat atau menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan. Uniknya, rekaman-rekaman itu dibuat sepanjang rentang umur si anak.
Setelah si bapak meninggal, dua anak ini menikmati rekaman-rekaman video itu setiap sabtu.

Yang kedua, si sulung, Satya.
Sosok ayah tiga orang anak, yang lebih banyak ninggalin rumah, karena kerja di kilang minyak di laut. Untuk berkomunikasi, keluarga ini menggunakan video call.
Digambarkan gimana anak dan istri Satya malah stress komunikasi dengan sang ayah karena semua berisi instruksi atau komplain. Sampai suatu saat Satya menonton kembali video si Bapak dan menyadari bahwa keluarga adalah segalanya.

Kemudian tokoh si Adik, Cakra, yang juga merasakan 'kedekatan' dengan si bapak menuntunnya setiap saat. 

Membaca buku ini seperti menumpang mesin waktu...ke masa-masa lalu dan sekaligus masa mendatang. Masa lalu kehidupan bersama almarhum papa; ada yang plain, rasa manis, rasa pahit, atau rasa Nano-Nano. Di saat bersamaan membuatku menerawang ke masa depan...akankah aku masih bisa berbincang-bincang dengan Shifa dan Althaf pada saat mereka kuliah, menikah nanti? Apakah saya sudah menanamkan nilai-nilai Yang paling berharga dalam kehidupan dunia ini...Yang akan terus mereka pegang teguh walau saya sudah 'pulang' duluan?.Ataukah mereka yang akan pulang duluan?

Jan 18, 2016

Kami tidak takut atau Kami tidak tau?

Mudah-mudahan ini aku yang salah;
gak mengikuti berita secara berimbang tapi sudah kasih komentar.

Mengikuti berita kejadian teror tanggal 14-Jan-16 kemaren di Jakarta, aku pikir sudah saatnya dilakukan sosialisasi besar-besaran tentang apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan dalam kejadian seperti itu.
Massa berkerumun mendekati lokasi, padahal polisi belum menyatakan suasana clear. Gimana kalau ada bom berikutnya meledak? Gimana kalau massa yang berkerumun malah dijadikan sandera?

Mudah-mudahan ini aku yang salah;
gak mengikuti berita secara berimbang tapi sudah kasih komentar.
Ada juga baca tentang hebohnya sosmed tentang polisi ganteng, dengan sepatu dan tas nya yang branded. Yang dibahas bukan tanggapnya para polisi itu menangani situasi.

Intinya sih... it's good gak terlalu panik dengan kejadian seperti itu. Tapi tetap harus aware bahwa niat mereka gak main-main. Kami tidak takut...setelah itu bukan titik. Kami tidak takut, karena kami tau (apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan).

It's good to always expect the best...but we must prepare for the worst. Be blessed, Indonesia!